Jumat, 23 November 2012

Media Bakal Berbalik “Menghabisi” Jokowi?

jokowi
Siapa tokoh paling popular tahun ini? Siapa tokoh paling banyak disorot media tahun ini? Siapa pemimpin paling banyak melakukan gebrakan tahun ini? Siapa tokoh phenomenal tahun ini? Siapa pemimpin paling menjanjikan untuk mewujudkan Indonesia baru? Siapa pemimpin paling banyak dipuja dan disanjung tahun ini?

Jika ada survey mengajukan bentuk pertanyaan seperi di atas, maka tanpa ragu dan banyak pikir saya mau tidak mau juga menjawab: Jokowi, sapaan akrab Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta. Sampai hari ke-40, Jokowi terus menerus mendapat sorotan media massa, baik cetak maupun elektronik – media mainstream dan apalagi media sosial. Tingkat popularitas Jokowi saat ini memang terus mencuat? Timbul tanda tanya, mengapa media terus menerus mengangkat sosok Jokowi? Apa sih hebatnya Jokowi?
***
“Jokowi Ahok layak mendapat gelar "Tokoh Perubahan". "The Legend of Indonesia". "Reformis Sejati". Anda-anda boleh pro, boleh kontra tapi inilah pendapat saya.”

“Selama ini gak pernah secara langsung melihat kegiatan pemprov DKI, ini benar-benar terobosan yang luar biasa bagi kemajuan Jakarta.”

“Pak Jokowiiii pak Jokowiii kangen-e rek..... pemimpin yang mengerti bagaimana cara memimpin. cerdas tegas santun humoris......”

“Bahasanya sederhana, lugas tapi mengena...mantab Pak Jokowi....!!”

Gile bener Bapak yang satu ini, klo diamati punya kemampuan berpikir mulai dari hal yang besar, strategi makro sampai pekerjaan teknis yang sangat detail. Bravo Pak Jokowi.”

Petikan kalimat di atas adalah beberapa komentar masyarakat tentang isi “Pengarahan Gubernur Provinsi DKI Jakarta kepada para walikota, camat dan lurah di Balai Agung, 20 November 2012” yang dapat dibaca di Youtube. Komentar berbentuk puja dan puji terhadap Jokowi ada ribuan yang dapat kita lihat di media sosial, apakah itu di Youtube, Facebook, Twitter, dan begitu pula komentar atas berita-berita yang dilangsir media online, seperti detik.com dan kompas.com.

Berbagai pujian dan rasa kagum terhadap Jokowi memang banyak diungkapkan orang, terkadang bahkan terasa sangat berlebihan. Bukan saja dilakukan oleh warga umumnya tapi juga sejumlah tokoh. Pendiri Museum Rekor-Dunia Indonesia (Muri), Jaya Suprana, bahkan menyebut Jokowi sebagai mahadewa. "Mari kita sambut mahadewa kita yang memang siap merapikan kacau-balaunya kota ini, Jokowi," kata Jaya Suprana di XXI Epicentrum, Jakarta, Kamis (22/11/2012), sebagaimana diberitakan Kompas.com. "Sebenarnya saya kecewa Pak Jokowi menjadi gubernur karena harapan saya Pak Jokowi itu jadi presiden," kata Jaya lagi, saat memandu acara “Indonesia Creative Power Pekan Produk Kreatif Indonesia.”

Biarpun belum menjabat 100 hari, kinerja Jokowi bersama pasangannya Basuki Tjahaya Purnama sudah banyak menuai pujian dan dukungan. Mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, misalnya menyebut: "Sekarang sudah bagus." Kalla mengatakan, Jokowi sudah melakukan inspeksi dan melihat keadaan Jakarta. Setelah inspeksi, Jokowi melakukan rencana perubahan untuk memperbaiki masalah. "Kemudian Pak Jokowi melaksanakan," kata Jusuf Kalla usai menghadiri acara Tahun Baru Islam 1434 H di Masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (15/11/2012). Pujian Jusuf Kalla itu ketika Jokowi baru menjabat 31 hari.

Decak kagum terhadap kiprah Jokowi memimpin Jakarta terlihat dari gaya kepemimpinannya yang sangat komunikatif, menyenangkan bagi banyak kalangan. Apa yang dikomentari warga di media sosial, seperti merakyat, sederhana, banyak senyum, teliti, kreatif dan cerdas, terasa tidak berlebihan, manakala melihat sepak terjang Jokowi di manapun berada. Walau acap mengaku tampang jelek dan kurus, para wartawan justru melihat Jokowi seperti pria tampan yang penuh pesona dan menawan banyak orang sehingga diburu bak selebritis top. Kemana pun Jokowi selalu diikuti insan wartawan, termasuk dari infotainment.

Para wartawan tampaknya demikian banyak menemukan sisi-sisi menarik dari Jokowi untuk disajikan ke media masing-masing. Aksi blusukan, meninjau langsung ke lapangan yang hampir setiap hari dilakukan Jokowi sudah jelas menjadi bahan berita aktual. Belum lagi setiap obyek blusukan selalu ditemukan hal-hal baru yang layak diketahui masyarakat Jakarta, bahkan Indonesia umumnya. Unsur aktualitas yang sangat dikedepankan media, selalu dimiliki dari kinerja Jokowi.

Tak heran, banyak orang menyebut, gara-gara Jokowi dan juga Ahok, mereka senang menonton siaran berita televisi, baca Koran, dan terlebih gandrung buka Youtube. Warga seolah mendapatkan semacam hiburan, pelepasan stress, ketika mengikuti pemberitaan seputar Jokowi. Berbagai istilah dipakai untuk menamai rubrik khusus mengikuti kiprah Jokowi, misalnya kompas.com, punya rubrik “100 Hari Jokowi-Basuki”, detik.com mencantumkan hari-demi hari pada setiap judul beritanya tentang Jokowi. Sedangkan pada sejumlah stasiun televisi, kata yang sering dipakai adalah “Gebrakan Jokowi.”

Jokowi memang sangat beruntung karena terus menerus mendapat liputan media massa. Hasil liputan ini pula yang membuat dia makin popular di hadapan publik sehingga tiap dia blusukan selalu disambut hangat warga, bahkan mengelu-elukannya. Harus disadari pula, warga DKI menyenangi gaya Jokowi itu, terlebih kebijakannya menyentuh langsung kepentingan warga, seperti pemberian kartu Jakarta Sehat yang memudahkan warga kurang mampu mendapat pelayanan kesehatan secara gratis. Para buruh menyambut hangat Jokowi karena menetapkan UMP (Upah Minimum Propinsi) DKI 2013 sebesar Rp 2,2 juta, naik signifikan dari tahun ini Rp 1,529 juta.

Lebih dari itu, problema Jakarta yang demikian kompleks, membuat media massa merasa perlu terus melihat sepak terjang Jokowi bersama Ahok. Momentum Jokowi mendapat sorotan media makin mencuat tatkala sedang musim hujan. Banjir dan macet karena hujan di berbagai pelosok Jakarta menjadi santapan pemberitaan media. Lagi-lagi dalam soal ini yang disorot adalah Jokowi. Apa yang dia lakukan, bagaimana rencananya mengatasi masalah yang selalu menghantui warga Ibukota ini? Tampaknya, masalah baik atau buruk yang ada di Jakarta, sasaran pemberitannya adalah Jokowi dan Ahok. Jakarta sebagai ibukota Negara, pusat segala kegiatan, markas bercokolnya media nasional, makin membuat Jokowi mudah mendapat sorotan media.

Nah, biarpun mengundang pujian, ada juga yang mencoba mengkritisi Jokowi dan Ahok. Mantan Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso, misalnya menilai, blusukan Jokowi harusnya sudah tidak lagi perlu dilakukan karena sudah cukup banyak, jika hanya untuk mendapatkan bahan pemetaan permasalahan Jakarta. "Menurut saya, itu sudah cukup. Masalah yang dicari sudah diketahui, keadaan rakyat seperti apa sudah diketahui, kita tunggu action," kata Sutiyoso, Minggu (18/11/2012), dalam Milad Ke-100 Muhammadiyah di Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.

Sutiyoso juga menyebut, kinerja Jokowi masih belum dapat dinilai. "Belum bisa kita ukur, paling tidak sampai tahun depan. Aksinya, `kan, baru mengecat rumah susun dan membagikan kartu Jakarta sehat untuk membuktikan janji kampanye," kata Sutiyoso yang juga mengkritik Ahok karena menunjukkan kemarahan kepada bawahannya yang secara sengaja diekspos langsung lewat Youtube.

Anggota Komisi C DPRD DKI Jakarta, Ahmad Husein Alaydrus juga mengkritisi Jokowi, terutama ucapan Jokowi yang mengatakan dirinya bukan dewa, dan dewa saja belum tentu cepat dapat menangani banjir. “Dia dewa saja belum bisa mengatasi banjir itu tidak pantas, itu bukti dia tidak bisa menangani banjir, warga Jakarta dibohongi Jokowi,” kata Husein kepada Okezone, Kamis (22/11/2012). Sebelumnya, Wakil Ketua DPRD DKI, Triwisaksana mengingatkan Jokowi agar tidak hanya memperhatikan program populer. Program lain yang tak populer pun harus dilihat, misalnya infrastruktur pengolahan limbah.

Mendagri Gamawan Fauzi sempat ikut pula mengingatkan kebijakan Jokowi-Ahok agar tidak mengubah rencana anggaran secara ekstrem karena hal itu kurang tepat. Sebaiknya, perubahan yang dilakukan masih dalam koridor-koridor wajar. "Kalau rencana 2013, kita buat 2012, mulai dari situ, tidak bisa di jalan kita alihkan," kata mantan Gubernur Sumatera Barat ini. Gamawan menambahkan, Jokowi harus membuat perencanaan yang berkesinambungan dengan pemerintahan sebelumnya. "Kalau terlalu banyak deviasi, itu bisa merusak sistem nantinya," ucap Gamawan.

Beberapa kritikan terhadap Jokowi bisa jadi bertujuan positif, namun lagi-lagi kalau kita lihat komentar di media sosial, justru ditanggapi negatif. Berbagai cercaan dan hujatan justru dialamatkan kepada Sutiyoso dan juga para anggota DPRD DKI. Kesan kental yang didapat, publik media sangat tidak suka jika Jokowi dan Ahok yang telah menjadi idola mereka dikritik, apalagi nadanya bila tidak menyetujui gaya kepemimpinan Jokowi. Kritikan Sutiyoso memang direspon oleh Ahok sendiri. "Bang Yos kan tidak dipilih secara langsung, ya dulu nggak perlu blusukan cuma perlu ke DPRD aja. Kalau sekarang kan dipilih langsung jadi beda. Era bang Yos kan bukan pemilihan langsung, kalau DPRD dulu beda," kata Wagub DKI ini kepada wartawan di Balai Kota DKI, Jakarta (19/11/2012), seperti diberitakan, detik.com.

Lantas, sampai kapan media massa terus menyorot Jokowi secara terus menerus, terutama yang menonjolkan sisi positifnya? Apakah akan ada titik jenuh, tingkat kebosanan memberitakan Jokowi? Apakah pemilik media, pengambil kebijkan redaksi juga akan mengingatkan wartawannya untuk mengerem, menekan laju pemberitaan positif seputar Jokowi? Apalagi terhadap media yang tidak dapat lepas dari kepentingan politik pemilik media, apakah mampu menekan agar Jokowi tidak terus ditonjolkan atau diberitakan?

Tampaknya, semua itu bukan mutlak ditentukan oleh pemilik media. Pengalaman menunjukkan, arus informasi yang muncul alami, memiliki aktualitas dan nilai berita tinggi, tak akan mungkin dapat dibendung oleh siapapun. Kekuasaan sekuat apapun, bila tiba saatnya dapat runtuh di mana-mana, berkat dorongan media massa. Media boleh jadi bergaya partisan, mencoba mencuatkan sang pemiliknya, tokoh yang secara sengaja membangun pencitraan dengan bantuan lembaga promosi namun dia tidak akan dapat membendung tokoh lain yang memang layak untuk tetap dicuatkan meski tanpa rekayasa.

Artinya, liputan media yang cenderung selalu positif terhadap Jokowi akan paling banyak ditentukan oleh Jokowi sendiri. Kiprah dia, tampilan kepemimpinannya yang disukai publik, pendekatan yang dia lakukan terhadap insan media akan lebih banyak menentukan, apakah dia terus popular atau tidak. Hal lebih penting lagi, bagaimana hasil kinerja, prestasinya mengatasi masalah Jakarta, ini akan sangat berpengaruh pula. Apakah Jokowi terus membuat kebijakan yang berdampak nyata? Apakah karya-karyanya dapat dilihat langsung masyarakat luas?

Akankah, media dapat berbalik, “menghabisi” citra positif Jokowi? Lagi-lagi ini sangat tergantung pada Jokowi. Memang, bila dia salah melangkah, genuisitas kepemimpinan positifnya diragukan, dia berubah menjadi sebaliknya dari sikap dan tindakannya selama ini, media dapat saja meruntuhkan populeritas Jokowi. Jika dinilai lebih banyak berwacana, ucapannya tidak punya bukti, Jokowi dapat saja “ditinggalkan” media. Harapan kita tentu saja, Jokowi tetap terus membuat yang terbaik, memenuhi dahaga publik akan pemimpin yang layak, bukan saja buat Jakarta sekarang tapi Indonesia masa depan. Sampai saat ini, kepemimpinan Jokowi masih menjanjikan!

Oleh: Dr H Usman Yatim MPd MSc



Share This Art!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar